"Aku ingin seperti semut merah yang mampu membangun sarang yang dalam dan nyaman. Menjadi semut merah yang pantang menyerah dalam melakukan papun. Karena menyerah berarti kalah. aku akan terus berjuang merangkai mimpi yang sempat terlupakan."
Kita berasal dari strata yang berbeda. Aku hanya anak seorang petani, sedang kau anak seorang pegusaha kaya dan terhormat. Sejak awal sudah kukatakan,
"Maaf, aku tidak mengenal kata 'pacaran', aku hanya ingin mengenal 1 cinta, yaitu dari suamiku kelak."
"Aku tidak memintamu menjadi pacarku, tapi akumemintamu untuk menjadi pendamping hidupku, untuk yang pertama dan terakhir. Tapi orang tuaku meminta kita untuk bertunangan terlebih dulu."
Anganku dibuat melayang dan terbuai oleh kata-katanya. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, sehingga aku meng-iyakan kata-katanya. Bagiku dia adalah laki-laki yang baik, dia adalah seseorang yang sepertinya yidak akan menyakitiku.
Pertunangan telah terjadi. Dia tetap mengisi hari-hariku. Saling memotivasi dan memberi semangat. Sampai akhirnya di akhir semester, dia yang awalnya hanya mahasiswa biasa-biasa saja dapat meraih IP yang memuaskan, akun turut bersyukur. Semua ini tidak terlepas dari usaha kami selama ini.
5 bulan pertunangan kami, tiba-tiba sifatnya berubah. Tidak ada lagi perhatian, tidak ada lagi kata-kata indah hanya untuk sekedar menyemangatiku menyambut pagi. Entah apa salahku. Apa karena dia telah menjadi mahasiswa yang pandai sehingga tidak membutuhkan bantuanku lagi? Ah, aku tidak boleh bersu'udzon. Hingga suatu hari, dia membatalkan pertunangan kami begitu saja. Wahai Allah yang maha membolak-balik hati, di telah menyakitiku. Dia telah menerbangkanku ke tempat yang tinggi kemudian menjatuhkanku begitu saja.
Aku sadar, aku bukan siapa-siapa. Aku hanya anak seorang petani yang dapat masuk universitas favorit karena beasiswa. Aku tidak ada apa-apanya jika harus dibandingkan dengannya. Mungkin memang lebih baik seperti ini. Aku pasti bisa berjalan sendiri. Aku yakin itu!
aku tahu, senumnya, sedihnya, dan tawanya bukan lagi untukku, bukan lagi karenaku..
Entah apa khilafku hingga membuatnya menjadi demikian..
Tapi sampai saat ini, senyumki, sedihku, dan tawaku masih tetap untuknya, masi karenanya..
Entah apa yang membuatku bertahan hingga hari ini..
Ternyata aku memang hanya pelarian :')
/(S)_asa* dikutip dari red book
No comments:
Post a Comment