Thursday, October 24, 2019

Uang dalam Dompet

Saya tipe orang yang tidak begitu suka menyimpan uang cash dalam dompet. Di dompet saya jarang sekali pecahan 50.000 dan 100.000 bertahan lama. Jika ada, pasti akan cepat-cepat saya setorkan ke mesin atm setor tunai. Saya akan menyisakan beberapa lembar pecahan uang di bawah 50.000-an saja Tujuannya mencegah diri untuk tidak sering jajan. Selain itu saya lebih suka menggunakan electronic money, debit card atau jenis pembayaran non cash lain ketika berbelanja, menurut saya itu lebih praktis.

Seperti hari ini, karena ada beberapa lembar uang 50.000-an di dompet saya, saya memutuskan untuk ke mesin atm setor tunai di salah satu convenience store sebelum pulang kantor. Sore tadi toko itu sedang ramai, mesin atm pun antri. Ketika tiba giliran saya, seperti biasa saya memasukkan uang ke dalam mesin. Sayangnya semua uang yang saya masukkan dimuntahkan lagi oleh mesin itu. Saya ulang lagi, masih saja sama. Ternyata semua uang yang saya masukkan tidak ada yang bagus. Ada yang robek, terlipat, sampai lubang bekas terkena stapless. Jujur saat itu saya sebal, sudah harus menyebrang melalui kemacetan pulang kantor, mengantri di mesin atm, ternyata malah uang yang saya bawa tidak ada yang masuk satupun. Sudahlah, akhirnya uang itu saya masukkan lagi ke dompet, kemudian pulang.

Beberapa jam kemudian, saya ada jadwal mengajar di salah satu panti asuhan. Jaraknya cukup jauh, waktu tempuhnya kurang lebih 30 menit dari kos saya jika tidak macet. Qadarullah, belum ada setengah jalan ban motor saya kempes, sepertinya bocor. Jadilah saya harus menuntun motor beberapa ratus meter sampai ketemu tukang tambal ban. Alhamdulillah tidak sampai 200 meter ada tukang tambal ban. 

"Ini bannya rusak mbak, harus diganti." Kata bapak tukang tambal ban setelah mengeluarkan ban dalam motor saya.

Akhirnya saya setuju untuk mengganti ban motor saya setelah menyepakati nominal yang disebutkan bapak itu. Sambil menunggu ban motor dipasang saya senyum-senyum sendiri. Untuk hal yang seremeh ini saja Allah begitu baik mengaturnya.

Mari kita runtut. Kalau saja uang yang diberikan teman saya untuk kemudian saya setor ke mesin atm itu bagus, saya akan bisa melakukan transaksi setor tunai. Dan jika tadi saya bisa melakukan setor tunai, di dompet saya hanya akan tersisa beberapa lembar uang yang nominalnya kecil. Dan jika sudah begitu, ketika ada kejadian seperti ini saya akan repot mencari atm tarik tunai, karena tidak mungkin saya membayar dengan debit atau e-money. Atm letaknya jauh dari tempat tambal ban ini.

MasyaaAllah,
Alhamdulillah,
Wow.
Saya dibuat takjub sendiri dengan kejadian kecil ini. Untuk hal remeh seperti ini saja, Allah masih turun tangan. Apalagi untuk hal-hal yang besar? Iya kan? Bisa jadi apa yang terjadi pada kita sekarang masih sampai pada fase "mengeluh karena gagal setor tunai" dari contoh cerita saya hari ini. Kita dibuat marah, kesal, mengeluh, bertanya-tanya kenapa begini kenapa begitu, kenapa harus saya, dan lain sebagainya. Itu semua karena kita belum tahu apa yang sudah disiapkan Allah satu langkah ke depan. Bisa jadi hal-hal yang kita keluhkan adalah cara Allah untuk melindungi kita dari sesuatu yang buruk.

Bukankah kita sudah bertawakkal kepada Allah? Itu kan yang kita lakukan setiap pagi sebelum meninggalkan rumah.

بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.”
Kita sudah menyerahkan semuanya kepada Allah tentang semua yang akan terjadi hari ini. Kita berserah.
Lakukan itu pula untuk hal-hal besar dalam hidup. Percayalah, jika Allah saja ikut campur dalam hal-hal remeh di hidup kita, Allah juga akan lebih ikut campur lagi dalam hal-hal besar yang ada dalam hidup kita. Dengan syarat kita selalu melibatkan-NYA.
Berdo'a, tawakkal, usaha. Jangan menyerah, kita pasti bisa :) -Sy

Saturday, October 12, 2019

P.E.R.E.M.P.U.A.N

Perempuan dan Perjodohan

Lima kali. Lima kali orang tuanya menyodorkan laki-laki pilihan keluarga besar mereka. Penolakan demi penolakan ia lakukan. Puluhan pertanyaan ia terima, dijawabnya hanya dengan senyuman.

"Apa lagi yang kamu tunggu, Nduk?"

"Sebenarnya laki-laki seperti apa yang kamu cari? Ini tidak mau, itu tidak mau."

"Mau sampai kapan menutup hati dan diri?"

Dan banyak lagi pertanyaan dan pernyataan yang menyudutkan hingga membuatnya tertekan. 
Ia  sendiri bahkan tidak tahu apa yang sedang ia tunggu dan apa yang mengganjal di hati. Yang ia inginkan adalah ada seseorang pilihannya yang akan dengan gagah berani menemui orang tuanya, memintanya dengan cara yang indah. Tapi itu semua hanya ada dalam angan.

Hingga akhirnya ia menyerah, menerima dengan penerimaan paling ikhlas. Dengan niat membahagiakan orang tua. Ia memutuskan untuk menerima laki-laki yang belum dikenalnya, laki-laki pilihan orang tuanya. 

Perempuan dan Penghianatan

Ia mengusap air mata, tangannya tetap sibuk memegang ponsel, menelfon dan mengetik beberapa pesan. Membatalkan pesanan kue ulang tahun, membatalkan travel, dan memberi tahu temannya bahwa ia batal menginap di rumahnya. Seharusnya besok akan jadi hari yang membahagiakan, dia akan memberikan kejutan pada laki-laki yang selama ini disebutnya pacar. Tapi rencana yang sedianya indah itu tidak terealisasi, kata putus tertulis dalam kolom chat laki-laki yang sudah lima tahun terakhir mengisi hari-harinya.

Terlalu tiba-tiba dang dengan alasan yang terlalu mengada-ada. Hancur, patah, tidak tahu apa yang harus dia perbuat. Jika alasannya adalah jarak, tiga tahun terakhir mereka menjalani LDR ini tidak pernah ada masalah yang berarti. Dia menemani laki-laki ini sejak dia masih nol, saat masih mahasiswa yang tidak punya apa-apa. Sekarang, ketika laki-laki itu sudah mapan, ia ditinggalkan. 

Baru-baru ini saja ia tahu, laki-laki itu pergi untuk satu alasan, orang ketiga. Ia marah, tapi pada akhirnya tidak tahu harus berbuat apa, hingga akhirnya menyerah. Mungkin saja ini adalah titik balik untuk dirinya hijrah. Ia memaknai bahwa sang Pencipta tidak ingin ia larut lebih dalam ke dalam pusaran maksiat. Ia menyerah, ia berserah.

Perempuan dan Penantian

Hari itu hari pertama ia bertemu laki-laki itu, di rumahnya, ia melihat laki-laki itu berdiri di depan pintu rumahnya. Admire at the first sight, dia laki-laki baik, pikirnya. Meski demikian ia tidak punya keinginan untuk mendekat, ia ingat ia baru sembuh dari luka.

Namun pertemuan yang hanya beberapa hari  itu menyisakan bekas, bertukar nomor hp, diskusi-diskusi panjang melalui chat, tiba-tiba saja menjadi rutinitasnya. Ia tidak merasa ini istimewa sampai sebuah hadiah diterimanya, dikirimkan dari kota yang jauh di sana. Ia bahagia, dan hatinya mulai terbuka. Waktu berlalu, pertemuan kedua, hadiah kedua dikirimkan, pertemuan ketiga, dan hadiah-hadiah selanjutnya. 

Bulan berganti tahun, ada yang berubah, laki-laki itu perlahan menjauh di saat hatinya mulai jatuh. Sadar akan hal itu, ia ikut menjauh karena takut nantinya akan jatuh terlalu jauh. Tak lama ia mendekat lagi, kemudian menjauh lagi. Perempuan ini pengecut sekali, tidak pernah berani bertanya mengapa ia begitu. Laki-laki ini juga pengecut, bagaimana bisa mendekati perempuan selama itu, tanpa mengatakan hal serius sedikitpun. Hingga akhirnya, setelah hampir 4 tahun berlalu, perempuan itu sadar bahwa penantiannya sia-sia. Prinsip yang ia pegang ternyata tidak berlaku di laki-laki yang ditemui beberapa tahun lalu itu. Prinsip bahwa pendekatan itu harus diniatkan untuk menikah, bukan hanya untuk main-main. Selalu yang muncul dipikirannya laki-laki itu akan mengatakan sebuah kabar baik ketika ia mendekat, tetapi ternyata tidak.

Ia lelah, terombang-ambing dalam ketidakjelasan. Ia marah, bagaimana bisa ada orang yang tega bermain dengan hati dengan begitu mudahnya. Perlahan ia menjauh, bukan karena telah menemukan yang baru, tidak sama sekali. Tidak mungkin secepat itu ia beralih setelah jatuh berkali-kali. Ia menyerah, menyerahkan pada Sang Pemilik Hati, pasti akan ada hikmah di balik semua ini. Sementara, ia ingin sendiri.

----------------------

Ketiga cerita perempuan di atas bertemu di sebuah meja ditemani tiga gelas kopi. Ketika cerita itu meluncur dari bibir masing-masing, ada air mata yang mengiringi. Bertiga saling tatap, saling menguatkan, dan menyadarkan. Bahwa bukan diri kita sendiri yang paling menderita, mendengarkan cerita orang lain akan dapat membuat ketiganya merasa bersyukur, bahwa mereka tidak sendiri.
Ketahuilah, dibalik mandiri dan cerianya seorang perempuan, ada luka yang ia simpan dalam sekali, terbungkus sangat rapi, hingga tidak ada seorangpun mengetahui.

Saturday, September 7, 2019

Kereta

Antara 2016 hingga 2017, saya sering bolak-balik antara kota tempat saya kuliah dan kampung saya. Bagi saya perjalanan yang paling nyaman menggunakan kereta, mengingat rumah saya tidak begitu jauh letaknya dari stasiun. Harga tiketnya juga murah, ramah di kantong anak kos seperti saya. 

Setiap beberapa sore, di saat matahari beberapa jam lagi sampai di ufuk barat, saya sampai di stasiun kota tempat saya kuliah. Ketika kereta lokal yang saya naiki sampai, kemudian saya turun, saya pasti disambut kereta bagus yang sedang bersiap-siap akan berangkat. Kereta bagus? Iya, saya menyebutnya begitu karena memang kereta itu terlihat bagus di mata saya. Gerbong-gerbongnya berwarna silver mengkilat, setiap saya melintas, bayangan saya bisa terlihat di sina, mirip cermin. Pramugari keretanya terlihat lebih perlente, orang-orang di dalamnya terlihat keren semua. Beberapa kali saya harus melintasi bordes kereta itu untuk menyeberang menuju pintu keluar stasiun, dan bisa dipastikan kepala saya akan menengok kanan kiri, mencuri lihat isi gerbong kereta. Tentu saja isinya jauh berbeda dengan kereta lokal yang biasa saya naiki.
Sumber: liputan6 - saya jarang mengambil gambar kereta yang saya naiki, malu dilihat orang. Hehe


Setiap melihat, bertemu, berpapasan, atau apalah itu namanya, dengan kereta itu, saya pasti akan berbicara sendiri, 
"Uwaaa keretanya bagus. Pasti harga tiketnya selangit" 
Mata saya mungkin terlihat berbinar-binar, mirip anak kecil yang melihat permen kapas di pasar malam. Dan di belakang kalimat itu, pasti akan terselip doa 'iseng'.
"Pengen deh, Ya Allah, bisa naik kereta itu. Sekali aja semumur hidup."
Doa 'iseng' itu berulang setiap kali saya melihat kereta itu. Saya selalu merasa takjub saat melihatnya, mungkin karena saya train mania. (Hehe)

Dan sekarang, 3 tahun sejak pertama saya pertama kali melihat kereta bagus itu, saya bisa menaikinya setiap kali saya pulang, 1 pekan sekali. Seperti pagi ini. Saat menulis ini, saya sedang di atas kereta bagus itu loh. Allah maha baik. Allah selalu mengabulkan doa hambaNya, meski hanya doa 'iseng'. Skenario Allah menjadikan tiket kereta itu murah untuk jarak tertentu, sehingga saya bisa menjangkaunya. Meski tidak semurah tiket kereta lokal, tapi masih sanggup lah kantong anak kos menjangkaunya.
Jadikan cerita saya hanya sebagai analogi, untuk apapun yang sedang kita inginkan dan kita doakan hari ini. Allah selalu mengabulkan doa hambaNya dengan banyak cara. Seperti cerita saya barusan misalnya, Allah menjadikan tiket itu murah, bukan menjadikan saya kaya agar saya bisa membeli tiket mahal. Tapi doa saya terjawab kan? Juga, Allah mengabulkan doa 'iseng' saya beberapa tahun setelah saya berdoa, tidak langsung. Ada jarak waktu di sana. Bisa jadi saat ini kita merasa doa kita belum terkabul karena memang belum waktunya. Allah yang lebih tahu kapan waktu terbaik untuk jawaban dari doa kita. Saya hanya berdoa agar saya bisa menaiki kereta bagus itu hanya sekali seumur hidup. Tapi Allah justru mengizinkan saya menaikinya puluhan kali. Itu artinya Allah menjawab doa kita sesuai dengan porsi kebutuhan kita. Bisa jadi kita ingin pekerjaan A, tapi kemudian 

Allah malah memberi kita pekerjaan B. Berprasangka baik saja, bisa jadi porsi kebutuhan kita ini, atau bisa jadi kita akan lebih bermanfaat dan jauh dari hal-hal subhat di pekerjaan ini. 

Tentang apapun yang sedang menjadi doa kita hari ini, jangan pernah berhenti berdoa. Doa akan mendekatkan kita dengan terwujudnya permintaan itu. Bagaimana jika tidak terwujud? Pasti terwujud, hanya saja kadang kala kita kurang peka bahwa sebenarnya permintaan itu sudah terwujud dalam bentuk yang lebih baik, tapi kita tidak sadar.

Sekian cerita saya di atas kereta bagus, saya harus bersiap turun, perjalanan saya telah sampai :)

Wednesday, December 19, 2018

Hujan Satu Paket

Aku tahu kamu menyukai hujan.
Tapi aku juga tahu kamu benci genangan air di jalan.
Karena jika kamu sedang mengayuh sepeda di tepian jalan, kemudian ada mobil lewat, air kotor genangan itu akan mengenai baju putih hari seninmu.

Aku tahu kamu menyukai hujan.
Tapi aku juga tahu kamu benci kemacetan yang terjadi saat hujan.
Kemacetan itu akan menahanmu lebih lama di jalan, dan anak-anak kecil yang sedang menunggumu akan duduk bosan. Kamu tidak pernah suka membuat orang lain menunggu.

Aku tahu kamu menyukai hujan.
Tapi aku tahu kamu tidak menyukai petir yang datang menyertai hujan.
Karenanya kamu merasa tidak aman untuk bermain dengan hujan di luar.



Meski begitu kamu tetap menyukai hujan.
Hujan dengan segala risikonya itu.
Hujan yang mengakibatkan adanya genangan, dan karena hujan kendaraan tidak bisa bergerak secepat biasanya, terjadilah macet. Dan ketika hujan turun cukup deras, tak jarang petir datang.
Hujan satu paket, iya kan?

Aku..layaknya hujan satu paket itu. Ada sesuatu pada diriku yang akan kamu suka, dan ada yang akan kamu benci.
Bisakah kamu juga tetap menerimaku, seperti ketika kamu tetap menyukai hujan dengan segala risikonya?

Menyukai hujan satu paket.[]

Sunday, November 25, 2018

PUTIH

Namanta Putih, salah satu siswa di SLB tempat Ibuku mengajar. Aku lupa apa yang membuatnya menjadi tunanetra, dulu Ibuku pernah bercerita, tapi aku tidak ingat.

Di provinsi kami sedang ada acara Paralympian Games Pelajar VI 2018. Para juara nantinya akan lanjut berjuang di  nasional. Awalnya di cabang olahraga renang provinsi kami tidak memiliki atlet satupun. Sampai kemudian salah seorang dari dinas pendidikan Banjarmasin menghubungi penanggung jawab acara. Beliau mengatakan bahwa ada satu atlet renang yang pindah dari Banjarmasin ke provinsi kami, tapi beliau tidak tahu di kabupaten mana anak itu tinggal. Setelah dicari, broadcast pesan via WA, mencari data sana sini, ditemukanlah siswa pindahan itu. Dan ternyata dia ada di kabupaten kami, dia lah Putih.

Putih sudah satu tahun lebih pindah ke sini, tapi tidak pernah bercerita kalau dia atlet renang. Bahkan kepala sekolah pun kaget saat mengetahuinya. Akhirnya segala  persiapan di lakukan, latihan renang sepulang sekolah seminggu dua kali hingga diet sedikit ketat agar badan Putih sedikit lebih kurus. Ya, setahun dipindah di kabupaten ini badan Putih menjadi sedikit lebih berisi, mungkin karena makanan di sini enak-enak.
"Putih nggak makan malam?" Tanyaku saat Putih menginap di rumahku suatu akhir pekan.
"Kata Bunda Putih nggak boleh makan malam, mbak."
Ah perjuangannya sungguh...

Sehari sebelum perlombaan, siswa-siswa dari sekolah berangkat menggunakan mobil. Jarak dari kabupaten kami ke ibu kota provinsi membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam. Selama beberapa hari mereka akan berjuang di sana. Tapi putih tentu saja menang tanpa bertanding, dia satu-satunya atlet renang pelajar penyandang disabilitas di provinsi ini. Dia siap mewakili provinsi ini bertanding di laga nasional yang InsyaaAllah akan diadakan di Papua.

Tapi, ternyata jalan cerita tidak semulus itu. Panitia mengatakan atlet renang tidak bisa memakai kerudung saat bertanding, tidak ada baju renang muslimah. Atlet diharuskan memakai baru renang lengan pendek dengan bagian punggung harus terlihat. Putih mundur.
"Putih nggak papa harus mundur? Ini kesempatan emas loh." Ibuku bertanya
"Nggak papa Bu. Daripada Ayah masuk neraka. Putih mau belajar tahfidz aja nanti."

Deg. Anak sekecil itu, bahkan usianya belum 12 tahun, sudah sangat mengerti hakikat menutup aurat. Tidak apa tidak jadi juara, tidak apa tidak jadi atlet nasional, yang penting Putih tidak lepas jilbab. Diri ini malu rasanya, anak kecil saja punya prinsip seteguh itu.
Panitia menghargai keputusan Putih, dia tetap mendapat apresiasi.

Bagi kami, dia sudah juara.

Wednesday, October 31, 2018

Cerita Makna: Jilbab Pengajian


“Tar, kamu itu sebenarnya menarik, nggak jelek kok, cantik malah di mata laki-laki” kata Sani sambil membenarkan posisi jilbab yang dipakainya di depan cermin. Orang yang sedang diajak berbicara masih sibuk menyampuli buku-buku dan tidak mengalihkan pandangan ke sahabatnya itu. Hari ini perpustakaan tidak begitu ramai, mungkin karena ini midterm, sehingga siswa-siswa lebih memilih belajar di depan ruang ujian masing-masing.
         “Terima kasih udah dibilang cantik pagi-pagi gini.” Tari meletakkan telapak tangannya di pipi sambil mengedip-ngedipkan mata.
         “Dih sok imut” Sani duduk di di kursi dekat jendela, menghadap sahabatnya yang belum beralih dari buku-buku dan sampul-sampul plastik. Dia menatap sahabatnya itu, kemudian berkata
         “mungkin kamu harus mengubah penampilan dulu, biar cepet laku. Kamu harus punya style untuk bisa lebih menjual diri kamu,” tangan Sani terangkat ke samping telinga dan mengisyaratkan tanda petik ketika dia menyebut kata menjual.
    “Orang itu harus punya style sendiri, harus bisa mem-branding dirinya. Coba lihat aku, I create my own style, and many people appreciate it. Yaah, minimal ganti lah sepatu kamu itu sama yang ada heels-nya, roknya yang warna wani atau gimana gitu kek. Kerudungnya yaa jangan kayak jilbab mau ke pengajian gini lah. Nanti pasti banyak laki-laki yang ngelirik.”
Tari mendadak berhenti dari aktivitasnya, meletakkan gunting yang dipegang, kemudian tersenyum.

                                        
       “Thanks for your advice, dear. But, well nggak ada hubungannya lah ya antara jilbab sama aku yang sampai sekarang belum menemukan pendamping hidup. Sekarang coba aku tanya, apa fungsi jilbab?”
Pandangan Sani mengikuti Tari yang berdiri kemudian meletakkan buku-buku yang disampul ke rak buku.
        “Fungsi jilbab? Yaa untuk melindungi perempuan lah”
        “Nah itu tau. Hakikatnya jilbab adalah untuk melindungi kita kaum wanita, agar tidak diganggu, terhindar dari fitnah, dan sebagainya. Itu artinya agar perempuan tidak terlihat menarik atau mencolok di depan orang yang bukan mahram. Nah kalo aku disuruh pakai jilbabnya model ini itu, untuk menarik perhatian, menyalahi tujuan utama pakai jilbab dong? Coba ingat lagi surat An-Nur ayat 31. Dan hendaklah mereka menjulurkan kain kerudung ke dadanya. Itu artinya kita disuruh Allah memanjangkan, bukan menggantungkan, diiket di leher kayak gantung diri gitu, atau dibulet-bulet sampe bikin engap begitu. Haha”
Keduanya tertawa bersama.

         “Iye iye Ustadzah, paham ane maksudnya.”
         “Soal aku yang masih sendiri sekarang ini, itu Cuma perkara waktu. Mungkin Allah masih kasih waktu untuk aku buat belajar, memperbaiki ini dan itu, menyelesaikan urusan ini dan itu. Pun dia yang masih entah dimana juga begitu. Sama kan kayak kamu dan mas Hasan, butuh waktu berapa lama coba? Dari masa-masa galau kamu dulu sampe akhirnya bulan depan kalian InsyaaAllah nikah, berapa lama hayo?”
        “Berapa lama ya? Hehe. Lama dah pokoknya. Udah jaman baheula itu, udah lupa.” Sani menggaruk kepalanya dan tersenyum salah tingkah.
        “Tenang aja, nanti aku susul kok. InsyaaAllah segera setelah kalian nikah.” Tari tertawa dibuat-dibuat, menggoda sahabatnya.
        “Hah. Sama siapa coba? Calon aja belum ada”
        “Lah ya sama jodohku lah. Dianya masih otw naik bajaj makanya belum dateng sampe sekarang haha. Allah is the best planner, you’ll be surprised when you know His plan for me.
        “Haha. Serah Ustadzah lah. Yuuk ke kantin bentar, pengen martabak, keburu habis sama siswa nanti”
        “Yuuk, let’s go kita jajan.”[]


Hijab is something you cannot bargain.
.
.
.
.
cr.pict to owner